“Kekerasan atas Nama Agama”

Standar

“Sesat!” Kata kunci dalam setiap tindak kekerasan atas nama agama. Darah “manusia sesat” menjadi halal untuk ditumpahkan. Sampang, Cikeusik, dan beberapa kekerasan lain, merupakan sebuah potret intoleransi, gambar bahwa kata “sesat” begitu dahsyat untuk dapat mengobarkan “semangat” penyerangan terhadap kelompok lain. Tentu kita sangat prihatin dengan tragedi-tragedi seperti ini, potret ketidakdewasaan manusia Indonesia menyikapi sebuah perbedaan. Ketidakdewasaan dalam bernegara dan tentunya beragama.

Penyerangan terhadap Syiah maupun beberapa kelompok minoritas lain, tak lepas dari pemikiran oposisi biner (sesat dan tidak sesat), menyalahkan kelompok lain yang tak sesuai dengan prinsip keyakinannya. “I” dan “the others” (Liyan). Me”liyan”kan kelompok minoritas. Kelompok minoritas tersekap oleh identitas kesesatan yang dicap oleh kelompok yang menganggap dirinya benar. Dengan kekuasaan, maka kekerasan dapat dilakukan. Kelompok mayoritas melakukan kekerasan karena memiliki kekuasaan sebagai mayoritas.

Dimana seharusnya posisi negara saat kekerasan atas nama agama ini kembali terulang kembali?  Tugas negara adalah menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Hal inilah yang tertera di dalam UUD 1945. Negara pun seharusnya menjadi pihak yang netral. Keyakinan agama bukan urusan  negara. Yang menjadi urusan utama  negara dalam hal ini adalah menjamin seorang warga negara untuk bisa menjalankan kepercayaannya tersebut. Apabila terjadi kekerasan terhadap apa yang diyakini warga negaranya di ranah privat, maka negara wajib memberlakukan hukum publik terhadap pelakunya.

Negara tidak boleh membiarkan kekerasan yang dilakukan  terhadap kelompok yang “(di)Liyan(kan)”. Dalam kehidupan bernegara,  tidak ada “Liyan” yang terdiskriminasi hanya karena keyakinannya. Prinsip mendasarnya adalah kelompok minoritas bukan berarti warga negara kelas dua. Kelompok minoritas bukan berarti kelompok yang terpinggirkan, mereka memiliki hak yang eksis di dalam kehidupan bernegara. Tanggung jawab negara  bukan mengusir yang dianggap “liyan” tersebut karena isi keyakinannya dan bukan pula untuk menghakimi isi keyakinan tersebut.          

Tinggalkan komentar